Lantur

Haloooo..

Sebenernya udah bikin draft dari tengah-tengah bulan puasa tapi entah kenapa rasanya banyak banget yang mau diceritain jadi ngelantur kemana-mana dan keburu ngantuk akhirnya gak jadi nge-post deh. Kebiasaan gue banget deh.

Yak jadi curhatan yang ini gue tulis di dalam kamar, kamar gue di rumah yang sebenarnya, bukan di bawah naungan atap kos-kosan tempat berlindung di perantauan. Iya, bisa dibilang gue mudik, tapi pulang kota bukan pulang kampong. Semarang-Bekasi (bukan Karawang-Bekasi). Dan iya, gue makin receh, gue sadari itu kok. Dan ya yang bikin gue bahagia juga kemarin itu beneran keretanya berhenti di stasiun Bekasi. Luar biasa. Entah gue aja yang norak kali ya. Sebenernya banyak temen-temen sesame perantauan dari Bekasi yang bilang kalo ada kereta yang berhenti di stasiun Bekasi, tapi ketika cek jadwal, jamnya gak enak, terlalu malam. Tapi pas puasa kemarin, ya tetep malam juga sih nyampenya tapi gak tengah malam juga jadi ya akhirnya ambil yang itu.

Kebiasaan gue. Begitu banyak yang ingin disampaikan. Terlalu bersemangat dan menggebu-gebu. Membeberkan segala detail yang ada, tetapi berantakan, bercecer kemana-mana hingga akhirnya menghilangkan benang merah yang ingin disampaikan. Bukan hilang, mungkin lebih tepatnya menjadi samar dan ngambang? Dan akhirnya tidak tepat sasaran seperti yang diharapkan.
Ah, maaf mungkin kalian gagal paham. Kalo paham, bagus. Kalo kalian punya kebiasaan yang sama kayak gue mungkin akan lebih mudah memahami.

Mungkinkah aku terlalu jenius. Haha. Sombong sekali. Pernah aku membaca sebuah ungkapan, ah, mungkin bukan ungkapan tetapi yang pasti itu adalah sebuah kalimat yang secara acak aku temukan ketika jemariku asik mengusap layar ponsel pintarku. Kalimat itu mengatakan (kalimat itu tentu tak bisa bicara dengan sendirinya, mengeluarkan suara rekaman seperti di google translate) kalau orang jenius itu kecepatan processing pikiran di kepalanya lebih cepat dibandingkan tangannya ketika hendak menuangkannya dalam tulisan jadi terkadang ada unsur-unsur, kata, simbol yang terlewatkan dan langsung memotong jalan pintas membuahkan kesimpulan, tanpa proses yang lengkap. Karena itulah yang sering gue rasakan ketika bikin post di blog. Semua yang terjadi dalam kehidupan, segala sesuatu yang gue alami gue merasa semua itu menarik untuk diceritakan (menurut gue) tapi sebenernya gak penting-penting amat gitu malah jadi kesannya kebanyakan bumbu, cita rasa alami dari bahan masakan utamanya malah jadi gak berasa. Paham?

Gue ngomong apa sih. Mungkin gara-gara gue lagi berusaha namatin “Dunia Kafka” atau judul lainnya “Kafka on the Shore.” Di karyanya satu ini emang Murakami-sensei menuliskan begitu banyak metafora dan filsafat, istilah-istilah dan perumpamaan yang tidak sepenuhnya gue pahami. Tapi menarik. Gaya penceritaannya, plotnya, karakternya…menarik. Apa sih gue sok banget kayak reviewer sastra profesional aja -_- Ya, tapi kalo ada yang tertarik , mungkin kita bisa jadi rekan diskusi? Haha. Beneran deh gue pengen ngomongin ini isi cerita, kayaknya bakal jadi bahan obrolan yang seru.

Jadiii ya mungkin segitu dulu. Lagi-lagi gue kena distraction yang bikin hasrat menulis gue memudar. Well sering juga sih cuma semangat menggebu-gebu sesaat doang kayak yang udah gue bilang di paragraf atas. Kapan-kapan disambung lagi ya. Oh yaaa sebenernya ada rencana ngejadwalin kapan posting sih biar bisa produktif tapi gue takut gak bisa berkomitmen jadi melanggar peraturan yang gue buat sendiri dan jadi gak enak sama diri sendiri. Aneh ya emang gue tuh. Sementara ini ya sebisanya gue aja, sepengennya aja, walaupun sedih sih tahun ini gak produktif banget baru bikin satu post di bulan februari doang wkwkwk mana gaje pula. Kapan sih gue gak gaje. Okedeh. Babaaaayy
Wassalamualaikum~


Komentar

Postingan Populer